Diksar Mahapel Diwarnai Kekerasan, Unila Tegaskan Ada Kelalaian Struktural

Niam Beryl

Pihak Universitas Lampung (Unila) mengungkap bahwa dalam kegiatan pelatihan dasar atau pendidikan awal (diksar) yang dijalankan oleh Mahasiswa Pencinta Lingkungan (Mahapel) di bawah Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), telah terjadi perlakuan kasar baik secara jasmani maupun batiniah. Peristiwa ini diduga menjadi penyebab gugurnya salah satu peserta.

“Hasil akhir investigasi independen Unila terhadap kegiatan Diksar Mahapel FEB yang diduga menyebabkan wafatnya Pratama Wijaya Kusuma, terjadinya sejumlah tindakan kekerasan bahkan terhadap peserta lainnya,” kata Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unila, Prof Sunyono, saat menyampaikan temuannya di Bandarlampung pada Rabu.

Menurut keterangan Prof Sunyono, bentuk kekerasan yang diterima para peserta bukan hanya berupa kekerasan fisik seperti pemukulan, tetapi juga termasuk penyiksaan secara psikologis. Tindakan yang dilakukan antara lain seperti memaksa peserta mencelupkan kepala ke dalam lumpur, memukul, memaksa menjalani aktivitas berat dalam situasi yang tidak aman, hingga ujaran yang merendahkan martabat peserta.

“Dalam kegiatan itu pula terdapat pelibatan aktif sejumlah alumni dan senior sebagai pelaku langsung atau sebagai pihak yang membiarkan kekerasan terjadi. Hal ini bertentangan dengan prinsip keselamatan dan pembinaan dalam pendidikan,” lanjutnya.

Dengan kata lain, atmosfer kegiatan tersebut bukan sekadar pelatihan, melainkan berubah menjadi ruang di mana kekerasan dilegalkan melalui pembiaran, bahkan mungkin dikonstruksikan sebagai bagian dari “tradisi” pelatihan.

Lebih lanjut, Prof Sunyono menyoroti bahwa ada kelalaian pada struktur pengawasan di tingkat fakultas. Ini ditandai dengan lemahnya peran Wakil Dekan III dalam mengontrol kegiatan dan sikap pasif dari Dosen Pembina Lapangan (DPL) yang seharusnya menjadi garda depan dalam memastikan kegiatan mahasiswa berlangsung aman.

“Serta absennya verifikasi dan pengawasan kegiatan yang dilaksanakan di luar kampus,” ujarnya.

Temuan investigasi juga mencatat bahwa Mahapel FEB menunjukkan sikap tertutup terhadap proses klarifikasi. Organisasi ini enggan menyerahkan dokumen penting, menolak memberikan data, dan memilih menghindar dari upaya pencarian kebenaran yang dilakukan oleh pihak universitas.

“Seluruh temuan ini menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap ketentuan hukum dan kebijakan internal Universitas Lampung termasuk, Peraturan Rektor Universitas Lampung Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Hak dan Kewajiban Mahasiswa,” ungkapnya.

Kegiatan tersebut ternyata melanggar berbagai regulasi yang berlaku, tidak hanya dalam lingkup internal kampus tetapi juga menyentuh aturan nasional. Termasuk di antaranya adalah Peraturan Rektor Nomor 11 Tahun 2023 sebagai perubahan dari Nomor 18 Tahun 2021, yang mengatur tentang keberadaan dan perilaku organisasi kemahasiswaan, serta Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 yang mengatur upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan kampus (PPKPT).

“Kemudian Peraturan Rektor Universitas Lampung Nomor 11 Tahun 2023 tentang perubahan atas Peraturan Rektor Nomor 18 Tahun 2021 tentang Organisasi Kemahasiswaan, serta Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT),” tambahnya.

Prof Sunyono menyatakan bahwa berdasarkan seluruh aturan tersebut, tindakan kekerasan dalam bentuk apapun tidak dapat ditoleransi. Bahkan pembiaran atau kegagalan dalam mengawasi pun harus dianggap sebagai bagian dari pelanggaran serius.

“Sebagai institusi pendidikan tinggi, Unila memilik komitmen kuat terhadap perlindungan hak asasi mahasiswa, penolakan terhadap segala bentuk kekerasan dalam kegiatan kemahasiswaan, serta tanggung jawab moral dan kelembagaan dalam menciptakan ruang belajar yang aman, inklusif, dan bermartabat,” tegasnya.

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa Unila menolak keras budaya kekerasan yang sering kali dibalut dalam baju “penggemblengan mental” atau “tradisi”. Sebaliknya, kampus ingin menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyerupai taman yang teduh, bukan ladang siksaan.

Dengan hasil investigasi ini, Unila dihadapkan pada tanggung jawab untuk melakukan pembenahan mendalam—bukan hanya terhadap Mahapel FEB, melainkan terhadap sistem pengawasan dan perlindungan mahasiswa secara menyeluruh.

Also Read

Tags