Direktorat Jenderal Imigrasi yang berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berhasil menjaring sebanyak 170 warga negara asing (WNA) yang berasal dari 27 negara berbeda. Mereka tersebar di area Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi, yang secara kolektif dikenal sebagai wilayah Jadetabek. Para WNA tersebut kedapatan melakukan pelanggaran administrasi keimigrasian, seperti melebihi masa izin tinggal atau yang kerap disebut “overstay”, serta menggunakan sponsor dan investasi fiktif.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Imigrasi, Yuldi Yusman, menjelaskan saat ditemui di Kantor Ditjen Imigrasi Jakarta pada hari Jumat, bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh para WNA itu beragam. “Sebagian ada yang overstay, sebagian memang yang visa investornya masih aktif, tetapi ternyata investasinya itu tidak ada, sehingga diberi tindakan tegas berupa tindakan administrasi keimigrasian,” ujarnya.
Adapun para WNA tersebut berasal dari beberapa negara, di antaranya Nigeria dengan jumlah 61 orang, Kamerun 27 orang, Pakistan 14 orang, Sierra Leone 12 orang, Pantai Gading delapan orang, dan Gambia delapan orang.
Mereka tertangkap dalam operasi pengawasan khusus bertajuk “Wira Waspada” yang dilaksanakan di Jabodetabek pada tanggal 14 hingga 16 Mei 2025. Dalam operasi gabungan yang melibatkan 10 kantor imigrasi ini, petugas menyisir 28 lokasi strategis, termasuk apartemen, kafe, dan pusat perbelanjaan.
Baca juga: BNN Bali ungkap jaringan narkoba Rusia libatkan dua WNA Kazakhtan
Menurut Yuldi Yusman, para WNA yang terjaring tidak bisa memperlihatkan dokumen perjalanan yang sah dan telah melewati batas waktu izin tinggal mereka. Selain itu, beberapa di antaranya yang menggunakan visa investor ternyata tidak memiliki bukti nyata adanya investasi, sementara yang lain tidak dapat membuktikan keberadaan sponsor di Indonesia.
Akibat kondisi tersebut, mereka diduga melanggar Pasal 78 dan Pasal 123 dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pelanggaran terkait melebihi masa izin tinggal dan memberikan data palsu atau informasi yang menyesatkan untuk memperoleh visa atau izin tinggal.
“Ancaman hukuman atas pelanggaran ini adalah pidana paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta, serta pengenaan tindakan administrasi keimigrasian berupa pendeportasian dan pencantuman dalam daftar penangkalan,” tegas Yuldi Yusman.
Mayoritas WNA yang diamankan tersebut telah menetap di Indonesia selama dua sampai tiga tahun. Pelanggaran yang mereka lakukan merupakan murni pelanggaran administrasi keimigrasian, dan belum ditemukan adanya indikasi tindak pidana lain yang bisa dijerat dengan hukuman lebih berat.
Yuldi Yusman menegaskan bahwa tidak ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh para pelanggar ini. Menurutnya, aturan keimigrasian sudah cukup tegas untuk menindak berbagai bentuk pelanggaran.
“Artinya, kalau dia masuk ke Indonesia menggunakan visa investor, pada kenyataannya di sini tidak ada investasi apa-apa tentu bisa kita lakukan pendeportasian. Ketika dia masuk ke sini, dicek sponsornya, sponsornya juga fiktif, bisa kita lakukan pendeportasian,” jelas Yuldi.






