Dalam sebuah pertemuan resmi dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Asosiasi Cheerleader Indonesia memaparkan deretan pencapaian yang telah mereka raih, sekaligus mengutarakan berbagai rintangan yang menghambat kemajuan olahraga pemandu sorak atau cheerleading di Tanah Air.
“Kami sudah tiga kali mengikuti Kejuaraan Dunia Cheerleading, terakhir di 2016, kami (Indonesia) meraih peringkat kesembilan dari 33 negara peserta,” ungkap Ketua Umum Cheerleader Indonesia, Dian Anggraini, saat menghadiri rapat dengar pendapat bersama Komite Olahraga Masyarakat Indonesia (Kormi) di Jakarta, Rabu.
Anggraini, yang juga merupakan bagian dari struktur organisasi Kormi, membeberkan bahwa partisipasi Indonesia dalam tiga ajang dunia tersebut dilakukan dengan dua skema pembiayaan berbeda: dua kali memakai anggaran mandiri dari asosiasi dan satu kali memperoleh bantuan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Ia menekankan bahwa para atlet cheerleading dari Indonesia memiliki potensi besar, bak permata yang menanti untuk diasah, sehingga dapat bersaing dengan negara-negara lain di tingkat internasional.
Organisasi yang telah berdiri sejak tahun 2008 ini, dan juga menjadi bagian dari International Cheer Union (ICU) yang berpusat di Amerika Serikat, terus meniti jalan pembinaan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan tata kelola organisasi.
Saat ini, jaringan organisasi yang dipimpin Anggraini telah menjangkau 15 provinsi dengan jumlah atlet aktif yang mencapai sekitar 2.000 orang.
Mayoritas dari mereka adalah generasi muda yang masih duduk di bangku sekolah, mulai dari anak-anak hingga remaja.
“Jadi yang ingin saya katakan bahwa sebetulnya atlet-atlet cheerleading kita di Indonesia itu jago-jago,” tegasnya, menegaskan kebanggaannya atas kemampuan anak bangsa.
Namun, di balik sorotan cahaya prestasi, ada bayang-bayang tantangan besar yang harus mereka hadapi.
Salah satu persoalan utama adalah minimnya fasilitas latihan, terutama kelangkaan matras khusus yang seharusnya menjadi perlengkapan dasar di sekolah-sekolah maupun sarana olahraga umum.
“Atlet-atlet kami kebanyakan remaja dan anak-anak yang tidak sedikit juga dari kalangan ekonomi yang kurang layak, sehingga butuh dukungan fasilitas,” ujarnya dengan nada prihatin.
Di tengah keterbatasan yang ada, semangat gotong royong terus ditanamkan dalam komunitas cheerleader.
Prinsip saling mendukung dan membantu menjadi kekuatan utama yang menopang semangat para atlet untuk terus berlatih dan berprestasi.
Walaupun seringkali dilihat sebagai olahraga hiburan, cheerleading sejatinya merupakan cabang olahraga ekstrem yang menuntut kerjasama tim tingkat tinggi.
Dalam satu tim, terdapat 24 atlet yang harus bergerak seirama, saling mempercayai satu sama lain, layaknya gigi-gigi roda yang harus sinkron untuk membuat mesin berjalan sempurna.
Anggraini juga menjelaskan bahwa pihaknya kini tengah memperluas jangkauan olahraga ini dengan menyasar komunitas disabilitas. Inisiatif ini telah dimulai di dua kota besar, yaitu Bandung dan Jakarta.
“Cheerleading untuk warga disabilitas ini penting karena juga sudah ada kejuaraan dunianya,” katanya, menunjukkan bahwa inklusi dan kesetaraan juga menjadi bagian dari visi besar asosiasi ini.






