Dalam diam dapur rumahnya, Wieke menjelma seperti seorang orkestrator bisnis rumahan. Ia mengurus sendiri hampir setiap detil usahanya, mulai dari memilih bahan, memanggang adonan, hingga menyulap tampilan produknya semenarik karya iklan profesional.
Satu-satunya pekerjaan yang ia serahkan pada orang lain adalah pengantaran pesanan ke konsumen yang berada cukup jauh dari tempat tinggalnya.
Jika kita mundur ke belakang satu dekade, aktivitas seperti ini terbilang sulit dilakukan oleh kebanyakan orang.
“Dulu, orang enggak akan bisa jualan kalau tidak punya toko, tapi sekarang di mana pun orang bisa jualan,” kata Wieke dalam wawancara online dengan ANTARA pertengahan pekan ini.
Wieke Wuri Wulandari begitu nama lengkapnya adalah satu dari jutaan perempuan Indonesia yang merintis dan menjalankan bisnis skala mikro hingga menengah dari rumah.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan akhir November 2023, kaum perempuan memegang kendali atas 64 persen unit UMKM di Indonesia.
Kontribusi mereka bukan main-main. UMKM yang digarap perempuan menyumbang 60,5 persen dari total PDB serta menyerap hampir seluruh kebutuhan tenaga kerja, yakni sebesar 96,9 persen.
Namun, jalan mereka bukan jalan lurus bebas hambatan. Justru banyak dari mereka termasuk Wieke yang melalui tanjakan dan jurang penuh cobaan. Kadang terpuruk, namun di saat bersamaan hal itu pula yang menempa mereka menjadi lebih tangguh.
Wieke memulai petualangannya sebagai pengusaha kecil sejak tahun 2012, dengan menjadikan rumahnya di Malang sebagai pusat operasional. Seperti ibu rumah tangga lainnya, ia mencoba peruntungan dari membuka lapak di mal, menjajakan pakaian yang ia peroleh dari Pasar Tanah Abang di Jakarta.
Sebagai seseorang yang gemar mengikuti perkembangan teknologi, Wieke cepat menangkap potensi digital di era awal smartphone. Kala itu, BlackBerry sedang menjadi primadona, dan ia pun memanfaatkan layanan BBM untuk berjualan. Meskipun penjualan tatap muka masih menjadi andalan, geliat pasar digital mulai ia rasakan.
Ketika platform daring mulai bermunculan Shopee, Grab, Gojek, dan lainnya Wieke tidak tinggal diam. Ia segera ikut arus, menjadikan aplikasi-aplikasi itu sebagai bagian dari strategi niaganya.
Namun, tak semua hari cerah. Menjelang Pemilu 2019, badai ekonomi menghantam dunia usaha. Banyak toko besar tumbang, dan pelaku UMKM seperti Wieke tak luput dari dampaknya. Satu per satu gerainya ia tutup, hingga pada akhirnya semua stand ia hentikan total.
Lalu datang badai yang lebih besar: pandemi COVID-19. Wieke seperti terkurung di rumah. Usaha fesyen yang ia jalani mulai dikurangi, dan stok barang ia simpan di lantai dua toko pertanian milik suaminya.
“Kebetulan suami punya toko pertanian. Saya kemudian menyimpan stok produk fesyen saya di lantai dua di toko milik suami itu,” kata Wieke.
Saat itulah muncul ilham baru: menjual kue. Bersama anak bungsunya yang saat itu masih kuliah, ia mulai menjajakan produk makanan ringan, meski hanya seminggu sekali. Mereka menamai usaha tersebut “de.loyang”, sebuah nama yang terinspirasi dari peran penting loyang dalam dunia per-kue-an.
“Saat itu omzetnya cuma dua ratus ribuan rupiah,” kata Wieke, mengisahkan masa awal usaha kuenya itu.
Ramadan dan Lebaran pertama di era pandemi menjadi titik balik. Tiba-tiba, pesanan mengalir deras untuk brownies dan macaroni schotel buatan mereka. Kesempatan itu tak disia-siakan. Wieke mulai menapaki jalur daring sepenuhnya, menyasar pasar yang lebih luas ketimbang sekadar tetangga sekitar.
Ia menyadari bahwa lokasi rumahnya yang berada di pinggiran Kota Malang tak cukup untuk menopang pertumbuhan usahanya. Maka dari itu, platform seperti Grab, Shopee, dan Gojek menjadi pintu masuk menuju konsumen di luar kota.
Tak lama kemudian, Shopee Food mengajaknya bermitra. Ini menjadi tambahan penting bagi strategi distribusinya, yang sebelumnya telah mengandalkan GrabFood.
Langkahnya tak sia-sia. Perjalanan digital ini membuahkan hasil. Usahanya menjangkau wilayah di luar Malang, bahkan merambah kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung.
Dulu, per hari ia hanya melayani beberapa transaksi di tiap aplikasi. Kini, jumlah itu melesat hingga mencapai 20 transaksi setiap hari.
Padahal niat awalnya hanya untuk mencari penghasilan tambahan sebagai ibu rumah tangga. Tapi, kelezatan rasa dan harga yang terjangkau mulai dari Rp4.000-an membuat pelanggannya terus bertambah.
Rahasia lainnya adalah kemampuannya menciptakan “cinta pandangan pertama” lewat tampilan produk. Wieke tahu bahwa mata pembeli seringkali menjadi jalan masuk ke hati dan dompet mereka.
Dulu, seseorang harus menyewa jasa desain grafis atau fotografer profesional untuk tampilan produk. Kini, cukup dengan ponsel pintar, internet, dan kemauan belajar, Wieke menguasai berbagai keterampilan visual dan pemasaran.
Ia memotret produknya sendiri, belajar dari tutorial online tentang fotografi dan videografi. Ia juga mahir mengedit video dengan aplikasi seperti CapCut, bahkan memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk merancang caption yang menggugah selera.
Wieke kini bukan hanya pelaku UMKM, tetapi juga “solopreneur” serba bisa.
Meski telah sukses, Wieke tidak pelit ilmu. Ia membagikan pengetahuan dan keterampilannya kepada puluhan orang di sekitarnya tentang cara membuat kue, mengatur strategi pemasaran, hingga memanfaatkan teknologi digital untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
Dalam setiap ajarannya, ia selalu menanamkan semangat bahwa berdagang tak harus terpaku tempat. Siapa pun bisa menjual, dari mana pun berada.
Kisah Wieke menjadi bukti bahwa kemajuan teknologi tak hanya mendekatkan penjual dan pembeli, tetapi juga membuka jalan bagi para pelaku usaha untuk menjadi lebih kreatif, efisien, dan sukses. Seperti adonan yang dipanggang dalam loyang, proses panjang penuh ketekunan ini menghasilkan sesuatu yang manis pada akhirnya.






