Nasib Pinjaman Daring di Tengah Tren Sengaja Galbay

Sahrul

Industri pinjaman daring atau online lending tengah menghadapi tantangan baru yang tak bisa dianggap enteng: tren galbay (gagal bayar) yang dilakukan secara sengaja oleh sebagian debitur. Jika sebelumnya kredit macet lebih banyak disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tak menentu, kini muncul fenomena baru di mana sebagian peminjam memang sejak awal berniat tidak membayar kembali pinjamannya.

Fenomena ini tentu berdampak signifikan terhadap ekosistem fintech lending di Indonesia, yang dalam beberapa tahun terakhir tumbuh pesat seiring naiknya kebutuhan masyarakat akan akses keuangan cepat dan tanpa agunan. Namun di tengah pertumbuhan tersebut, pertanyaan besar kini mengemuka: ke mana arah nasib pinjaman daring jika tren galbay sengaja ini terus menjalar?

Maraknya Aplikasi Pinjaman Daring: Kemudahan yang Jadi Pedang Bermata Dua

Sejak 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong inklusi keuangan melalui kanal digital. Salah satunya dengan memberi ruang kepada P2P lending (peer-to-peer lending), yakni platform yang mempertemukan peminjam dengan pemberi dana tanpa melalui lembaga keuangan tradisional.

Dengan proses cepat, syarat ringan, dan pencairan instan, layanan pinjaman daring sangat menarik bagi masyarakat yang membutuhkan dana darurat. Tak heran, jumlah pengguna terus meningkat dari tahun ke tahun.

Namun, kemudahan ini perlahan menjadi bumerang. Banyak pengguna tergoda untuk meminjam tanpa pertimbangan matang. Lebih buruk lagi, ada pula yang memang sejak awal berniat tidak membayar kembali.

Apa Itu Galbay dan Mengapa Kini Jadi Tren?

Galbay adalah kependekan dari gagal bayar, yaitu kondisi ketika peminjam tidak melunasi kewajiban cicilan sesuai jatuh tempo. Dalam konteks pinjaman daring, galbay kini tak lagi semata-mata disebabkan ketidakmampuan ekonomi, melainkan sudah mulai dilakukan secara sadar dan terencana oleh segelintir pengguna.

Beberapa faktor yang mendorong tren galbay sengaja antara lain:

  • Minimnya sanksi hukum langsung bagi peminjam bandel, apalagi jika meminjam di aplikasi ilegal.
  • Edukasi keuangan rendah, banyak yang tidak paham konsekuensi jangka panjang dari riwayat kredit buruk.
  • Motif oportunistik, ada yang memanfaatkan celah sistem atau menganggap uang pinjaman daring sebagai “uang gratis”.
  • Maraknya komunitas galbay di media sosial, yang memberikan tutorial cara “kabur” dari tanggung jawab membayar pinjaman.

Dampaknya terhadap Industri Fintech

Tren galbay ini tentu berdampak buruk, bukan hanya bagi platform P2P lending tetapi juga investor yang menyalurkan dananya. Beberapa dampak serius yang kini mulai terasa antara lain:

1. Meningkatnya Rasio Kredit Macet (TWP90)

Menurut OJK, Tingkat Wanprestasi 90 hari atau TWP90 menjadi indikator utama kualitas kredit. Jika terlalu banyak pinjaman yang tidak dilunasi lebih dari 90 hari, maka kepercayaan investor dan pengguna pun menurun.

2. Pengetatan Skoring Kredit

Platform pinjaman daring kini makin selektif dalam memberikan pinjaman. Hal ini berdampak pada pengguna baru yang sebenarnya butuh, namun tidak lagi mendapatkan akses karena risiko sistemik yang meningkat.

3. Tarik Ulur Regulasi

OJK dan AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) berada dalam posisi sulit. Di satu sisi mereka harus melindungi pengguna, namun di sisi lain harus menjaga keberlangsungan ekosistem.

Upaya Penanggulangan: Edukasi hingga Teknologi Skoring

Untuk menghadapi gelombang galbay sengaja ini, sejumlah langkah mulai dilakukan, di antaranya:

Peningkatan Edukasi Literasi Keuangan

OJK dan berbagai pelaku fintech gencar mengedukasi publik bahwa pinjaman adalah kewajiban, bukan hadiah. Penggunaan media sosial dan kolaborasi dengan komunitas pun digalakkan.

Penerapan Skoring AI dan Big Data

Fintech kini memanfaatkan teknologi skoring yang lebih canggih, dengan memantau perilaku digital calon peminjam sebagai bagian dari analisis kelayakan kredit.

Blacklist Terintegrasi

AFPI mengembangkan sistem blacklist terpusat yang akan melarang peminjam galbay untuk mengakses layanan fintech lain.

Peningkatan Penegakan Hukum

Meski hukum pidana tidak serta merta bisa menjerat peminjam gagal bayar, beberapa kasus penipuan (misalnya menggunakan identitas palsu) tetap bisa diproses secara hukum.

Bagaimana Sikap Platform Pinjaman?

Beberapa platform pinjaman memilih bersikap lebih konservatif dalam menyalurkan dana. Ada pula yang mulai mengalihkan fokus ke pembiayaan produktif, seperti pembiayaan UMKM, yang dinilai lebih aman dan minim risiko konsumtif.

Di sisi lain, sejumlah platform berevolusi menjadi ekosistem finansial yang menyeluruh, dengan menawarkan produk tabungan, investasi, hingga asuransi mikro, sebagai strategi diversifikasi.

Apa yang Harus Dilakukan Pengguna?

Jika kamu adalah pengguna aktif pinjaman daring, ada beberapa hal penting yang perlu diingat:

  1. Pinjam sesuai kebutuhan dan kemampuan – Jangan tergoda nominal besar jika tidak benar-benar butuh.
  2. Cek legalitas aplikasi – Gunakan hanya aplikasi yang terdaftar di OJK.
  3. Pahami bunga dan tenor – Jangan hanya tergiur proses cepat, tapi perhatikan total kewajiban.
  4. Jaga riwayat kredit – Rekam jejak kamu di satu platform bisa memengaruhi aksesmu di platform lain.

Penutup: Antara Inklusi Keuangan dan Etika Finansial

Pinjaman daring sejatinya hadir untuk memperluas akses keuangan bagi masyarakat yang sebelumnya belum terjangkau lembaga konvensional. Namun jika dimanfaatkan secara sembrono, potensi baik ini bisa berubah menjadi bumerang.

Tren galbay sengaja seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak, bahwa edukasi keuangan, regulasi tegas, dan literasi digital harus berjalan beriringan. Industri pinjaman daring perlu kembali pada esensinya: memberikan solusi finansial, bukan menciptakan jebakan utang baru.

Also Read

Tags