Dugaan Kerugian Rp 63 T Akibat Kuota Hangus, Ini Tanggapan ATSI

Sahrul

Isu hangusnya kuota internet yang belum digunakan oleh pelanggan dalam periode aktifnya menjadi sorotan publik akhir-akhir ini. Tak hanya membuat kecewa jutaan pengguna layanan data seluler, fenomena kuota hangus ini juga memantik diskusi lebih luas terkait transparansi dan keadilan dalam regulasi industri telekomunikasi. Salah satu yang menjadi perhatian adalah munculnya dugaan bahwa kerugian masyarakat akibat kuota hangus mencapai Rp 63 triliun. Angka fantastis ini tentu menggugah perhatian banyak pihak, termasuk kalangan legislatif dan asosiasi penyedia layanan itu sendiri.

Menanggapi dugaan tersebut, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) akhirnya buka suara. Lantas, bagaimana sebenarnya duduk persoalannya dan apa respons ATSI terhadap tuduhan tersebut? Berikut ulasan lengkapnya.

Polemik Kuota Hangus: Berawal dari Aduan Publik

Masalah kuota internet yang hangus meskipun belum sepenuhnya digunakan memang bukan hal baru. Sudah lama pengguna seluler mengeluhkan bahwa kuota mereka seolah “disita” ketika masa aktif paket berakhir, padahal sisa kuota masih cukup besar. Hal ini terjadi karena sistem yang diberlakukan oleh operator seluler umumnya mengatur bahwa kuota internet hanya berlaku dalam jangka waktu tertentu, misalnya 7 hari, 30 hari, atau 90 hari, tergantung paket yang dipilih.

Namun, isu ini menjadi semakin ramai setelah Anggota Komisi I DPR RI, Dave Laksono, mengungkapkan bahwa berdasarkan aduan masyarakat dan kajian internal, kerugian pelanggan akibat kuota yang hangus bisa mencapai angka fantastis: Rp 63 triliun per tahun. Dave menegaskan bahwa praktik ini berpotensi merugikan konsumen dan mengimbau agar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) segera menertibkan pola bisnis seperti ini.

Tanggapan Tegas dari ATSI

Menyikapi pernyataan tersebut, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) langsung merespons melalui pernyataan resmi. ATSI menyatakan bahwa pihaknya merasa perlu meluruskan persepsi publik atas angka Rp 63 triliun yang dinilai tidak mewakili kondisi sesungguhnya di lapangan.

“Angka kerugian tersebut sangat tidak masuk akal dan belum pernah terbukti melalui metodologi riset yang sahih,” ujar perwakilan ATSI dalam keterangan tertulis. Menurut ATSI, konsep ‘kerugian’ dalam konteks ini perlu dipahami dengan benar. Operator telekomunikasi tidak menarik kembali dana pelanggan, melainkan menyediakan layanan berdasarkan kesepakatan masa aktif yang sudah diinformasikan sejak awal pembelian paket.

ATSI menambahkan bahwa semua paket data disusun berdasarkan skema bisnis yang transparan dan sudah sesuai dengan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah, termasuk kewajiban memberikan informasi yang jelas soal masa berlaku kuota, volume data, serta ketentuan penggunaan.

Paket Kuota: Produk Komersial dengan Batasan Teknis

Menurut ATSI, paket data bukanlah barang fisik yang bisa disimpan tanpa batas. Data internet bersifat komoditas virtual yang melekat pada layanan jaringan, dan penggunaannya sangat tergantung pada kapasitas jaringan, beban trafik, dan kebijakan kualitas layanan.

Sebagai ilustrasi, ketika seseorang membeli paket 10 GB untuk 30 hari dan hanya menggunakan 5 GB, sisa kuota memang tidak dibawa ke periode selanjutnya—kecuali dalam skema khusus seperti “rollover” atau akumulasi kuota.

Beberapa operator bahkan sudah mulai menawarkan paket dengan fitur rollover atau penggabungan kuota ke bulan berikutnya. Namun, ATSI menekankan bahwa penerapan fitur seperti itu adalah strategi bisnis individual dari masing-masing penyedia layanan, bukan kewajiban yang diatur secara mutlak oleh negara.

Kominfo dan DPR Diminta Hadir sebagai Mediator

Meski membantah angka kerugian Rp 63 triliun, ATSI mengaku terbuka terhadap dialog dan evaluasi bersama pemerintah dan DPR. Asosiasi ini menilai pentingnya menciptakan ekosistem telekomunikasi yang seimbang antara perlindungan konsumen dan keberlangsungan bisnis.

ATSI juga menekankan bahwa banyak pelanggan yang tidak sepenuhnya memahami rincian paket yang dibeli. Oleh karena itu, edukasi konsumen menjadi bagian yang tidak kalah penting dibanding hanya menyalahkan penyedia layanan.

Sementara itu, Kominfo menyatakan akan mengevaluasi kembali kebijakan tentang masa aktif kuota internet dan kemungkinan menghadirkan regulasi baru yang lebih berpihak kepada konsumen. Dirjen PPI Kominfo menyebut bahwa pihaknya akan segera menggelar pertemuan dengan seluruh operator untuk membahas solusi terbaik.

Perlindungan Konsumen dan Harapan Masa Depan

Lembaga perlindungan konsumen seperti YLKI juga turut bersuara. Mereka menilai bahwa transparansi dalam informasi paket harus menjadi prioritas. Konsumen harus benar-benar tahu apa yang mereka beli, kapan masa aktifnya berakhir, dan apa konsekuensinya jika kuota tidak digunakan sepenuhnya.

YLKI juga mendukung adanya regulasi baru yang memungkinkan kuota bisa dikembalikan atau diperpanjang, terutama untuk pelanggan yang menggunakan layanan secara tidak intensif seperti lansia, pelajar, atau pekerja informal.

Penutup

Kasus dugaan kerugian Rp 63 triliun akibat hangusnya kuota internet memang memantik diskusi penting soal hak konsumen dan praktik bisnis operator seluler. Meski angka tersebut dibantah keras oleh ATSI, polemik ini tetap membuka ruang untuk refleksi bersama.

Pemerintah, DPR, dan pelaku industri perlu duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang adil dan transparan. Di era digital seperti sekarang, internet adalah kebutuhan dasar, dan perlakuan terhadap pelanggan tidak bisa lagi berlandaskan pada paradigma lama.

Transparansi, edukasi, dan inovasi skema layanan adalah kunci utama agar konsumen tidak merasa dirugikan dan operator tetap bisa berkompetisi sehat. Semoga ke depan, regulasi yang berpihak pada konsumen dapat hadir tanpa mengorbankan keberlangsungan industri telekomunikasi nasional.

Also Read

Tags