Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok memberikan respons keras terhadap pernyataan empat menteri pertahanan dari Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan Filipina yang dinilai menyebarluaskan narasi keliru mengenai ancaman yang dituduhkan kepada China di kawasan perairan Laut China Selatan maupun Laut China Timur.
Dalam sebuah konferensi pers yang digelar di Beijing pada hari Selasa, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menyampaikan pernyataan tegas menanggapi retorika yang disampaikan di forum keamanan kawasan, Shangri-La Dialogue. Ia mengatakan, “AS, bersama dengan Jepang, Australia, dan Filipina, dengan berani menyebarkan tuduhan palsu tentang ‘ancaman Tiongkok’ di ‘Shangri-La Dialogue’ dan berusaha menggunakan masalah Laut China Timur dan Laut China Selatan untuk menaburkan perselisihan dan memicu konfrontasi antara negara-negara di kawasan.”
Pernyataan Lin Jian tersebut merupakan tanggapan terhadap pertemuan yang dilakukan oleh keempat menteri pertahanan negara tersebut di sela-sela konferensi di Singapura, pada Sabtu (31/5). Pertemuan itu diwarnai dengan kekhawatiran mendalam terhadap apa yang mereka sebut sebagai tindakan destabilisasi dari Beijing dan dugaan upaya sepihak untuk mengubah keadaan yang ada dengan cara-cara koersif.
Dalam siaran resmi yang diterbitkan usai pertemuan, para menhan dari keempat negara itu menyampaikan kegelisahan mereka terhadap apa yang mereka nilai sebagai manuver berbahaya dari China, khususnya terhadap Filipina dan negara lain yang berbagi kepentingan di kawasan tersebut. Mereka juga menegaskan pentingnya penyelesaian konflik secara damai, melalui jalur diplomasi dan dialog, bukan melalui tekanan militer.
Menanggapi pernyataan tersebut, Lin Jian mengekspresikan kekecewaan mendalam dari pihak China. “China sangat menyesalkan dan dengan tegas menentangnya, dan telah mengajukan protes serius,” ungkap Lin Jian. Kalimat itu menjadi refleksi sikap tidak menerima dan sikap membela diri dari Beijing terhadap narasi yang dibangun oleh empat negara tersebut.
Lebih lanjut, Lin Jian mengangkat isu mentalitas blok kekuatan atau “politik aliansi” yang menurutnya merupakan peninggalan pola pikir era Perang Dingin. Ia menyebut pendekatan seperti ini sudah usang dan tidak lagi relevan dengan dinamika zaman modern, bahkan ditolak oleh banyak negara di kawasan Asia-Pasifik.
“Politik blok dan konfrontasi tidak akan menyelesaikan masalah apa pun, apalagi mengintimidasi China. Kami tidak akan gentar dalam membela kedaulatan teritorial dan hak serta kepentingan maritim China,” tambah Lin Jian. Dengan kata lain, China bersikeras tidak akan mundur dalam mempertahankan integritas wilayah dan hak-haknya di laut.
Lin Jian juga menyerukan kepada Amerika Serikat dan sekutunya agar menghentikan penyebaran narasi yang dianggap menyudutkan, serta berhenti menggiring opini internasional melalui fakta yang telah dipelintir. Ia mengatakan bahwa penyelesaian perbedaan seharusnya dibangun di atas fondasi komunikasi terbuka dan negosiasi yang jujur antar negara yang bersangkutan.
“China meminta AS dan sekutunya untuk menghentikan fitnah dan pencemaran nama baik, berhenti memutarbalikkan fakta dan mengalihkan kesalahan pada masalah maritim dan berhenti menyatukan kelompok-kelompok kecil yang eksklusif,” tegas Lin Jian. Ia menyoroti pembentukan kelompok tertentu sebagai tindakan yang dapat memperuncing jurang ketegangan antar negara.
Lebih jauh lagi, Beijing mengimbau agar kekuatan luar tidak menghambat usaha pihak-pihak terkait dalam menyelesaikan persoalan lewat jalur damai. “Kami juga minta AS berhenti mengganggu upaya pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan masalah melalui dialog dan konsultasi serta mempertahankan perdamaian dan stabilitas kawasan,” tegas Lin Jian dalam penutupnya.
Sementara itu, keempat menteri pertahanan menyuarakan kembali komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk kebebasan bernavigasi dan terbang di wilayah laut lepas, sebagaimana tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Mereka menyerukan pentingnya stabilitas yang berkelanjutan di kawasan Indo-Pasifik.
Keempatnya juga menegaskan peran sentral ASEAN dalam arsitektur keamanan regional. Mereka menganggap bahwa keterlibatan ASEAN adalah elemen penting dalam menjaga tatanan yang damai dan seimbang di wilayah yang penuh kepentingan strategis ini.
“Dalam menghadapi apa yang kami semua gambarkan sebagai pengembangan kapasitas militer yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh China,” kata Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Pete Hegseth. Ucapan ini merujuk pada perkembangan militer Beijing yang dinilai sangat signifikan dan membawa dampak luas terhadap keseimbangan kawasan.
Wakil Perdana Menteri Australia merangkap Menteri Pertahanan, Richard Marles, menambahkan bahwa, “Kami telah melihat pengembangan militer konvensional terbesar di dunia sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua yang dilakukan oleh China, dan hal itu memengaruhi lanskap strategis dan kompleksitas strategis bagi kawasan, bagi dunia, bagi kita semua.” Analogi ini menggambarkan bahwa perubahan militer yang dilakukan China seolah membentuk ulang peta geopolitik global.
Dari sisi Filipina, Menteri Pertahanan Gilberto Teodoro menyatakan keyakinannya bahwa kerja sama dengan AS, Jepang, dan Australia akan memberikan manfaat bagi rakyatnya. “Mereka yang paling membutuhkan kemakmuran ah mereka yang paling menjadi korban dari tindakan berlebihan China. Kami merasa bahwa kelompok ini bukanlah kelompok eksklusif melainkan inklusif, transparan berdasarkan hukum internasional,” tegasnya.
Adapun Menteri Pertahanan Jepang, Nakatani Gen, melihat bahwa tindakan China saat ini telah melampaui tingkat provokasi sebelumnya. Pandangannya mengindikasikan adanya peningkatan intensitas dari aktivitas China yang memicu kekhawatiran regional.
Sebagai bentuk tindak lanjut kerja sama, keempat negara sepakat untuk mendukung penguatan infrastruktur pertahanan Filipina. Ini mencakup pemasangan sistem radar udara produksi Jepang di Pangkalan Udara Wallace, integrasi sistem sensor oleh AS di Pusat Komando Udara Basa, serta dukungan dari Australia terhadap pengembangan fasilitas militer di Laut China Selatan.
Dengan konstelasi geopolitik yang semakin rumit, situasi di Laut China Selatan dan Laut China Timur kini kembali menjadi sorotan global, menegaskan bahwa kawasan tersebut bukan sekadar lautan luas, melainkan cermin dari dinamika kekuasaan internasional yang terus bergeser.






